Jumat, 27 Juli 2012

Iradah (kehendak) di dalam kitab Allah ada dua macam

Pertama:
Iradah kauniyah qadariyah, yaitu kehendak yang meliputi semua yang ada, apa saja yang Allah kehendaki pasti akan terjadi, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak akan terjadi. Iradah ini memastikan terjadinya apa yang dimaksud, tetapi tidak berarti hal tersebut pasti dicintai dan diridhai, kecuali jika berhubungan dengan iradah syar’iyyah.
Allah berfirman:
 “Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapang-kan dadanya untuk (memeluk agama) Islam.” (QS.Al-An’am:125).

Kedua:
Iradah diniyah syar’iyah, yaitu kecintaan terhadap suatu yang dimaksud dan terhadap pelakunya serta ridha kepada mereka, tetapi tidak berarti hal yang dimaksud tersebut pasti terjadi, kecuali jika dibarengi dengan iradah kauniyah.

Allah berfirman:
 “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Al-Baqarah:185).
Iradah kauniyah lebih umum, karena setiap segala yang dimaksud secara syar’i yang terjadi berarti hal tersebut dikehendaki secara kauniyah, dan tidaklah setiap yang dimaksudkan secara kauni yang terjadi berarti dimaksudkan secara syar’i.

Iman Abu Bakar radhiallahu anhu misalnya, terjadi padanya dua iradah. Sedangkan contoh yang terjadi padanya iradah kauniyah saja walaupun dimaksudkan juga secara iradah syar’iyah adalah imannya Abu Jahal. Maka walaupun Allah menghendaki terjadinya kemaksiatan secara taqdir dan menginginkannya secara kauniyah, tetapi Dia tidak menginginkannya secara syar’iyah dan dien, Allah tidak menyukainya dan tidak memerintahkannya. Bahkan Dia membenci, dan melarangnya serta mengancam pelakunya. Semua itu masuk dalam taqdirnya.

Adapun ketaatan dan keimanan, maka Allah mencintai dan memerintahkannya bahkan menjanjikan untuk pelakunya pahala dan balasan yang baik. Seseorang tidak akan berbuat maksiat kepada Allah subhanahu wataala kecuali atas kehendak-Nya, tidak ada yang terjadi kecuali atas kehendak-Nya, firman-Nya:
 “Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya.” (QS.Az-Zumar:7).
Juga firman-Nya:
 “Dan Allah tidak menyukai kebinasaan.” (QS.Al-Baqarah:205).
  
    Sebab-sebab yang dapat menolak taqdir.

Allah subhanahu wata’ala menjadikan beberapa hal yang mampu menolak terjadinya taqdir dan mengangkatnya, yaitu berupa do’a, sadaqah, obat-obatan, kehati-hatian dan tekad, karena hakikat semuanya itu adalah qadha’ dan taqdir Allah hingga kepandiran dan kepintaran.

    Masalah Taqdir adalah rahasia Allah pada makhlukNya.

Pernyataan bahwa taqdir adalah merupakan rahasia Allah pada makhluk-Nya, terbatas pada aspek yang tersembunyi pada qadar. Hakikat dari segala sesuatu tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah semata, dan tidak dapat diketahui oleh manusia, seperti bahwasanya Allah menyesatkan, memberi petunjuk, menghidupkan, mematikan, memberi, menahan. sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
 “Jika disebut tentang taqdir maka diamlah kalian.” (HR. Muslim).

Adapun aspek-aspek lain dari taqdir, berupa hikmahnya yang besar, tingkatannya, derajatnya dan dampaknya, semua ini termasuk hal yang bisa dijelaskan kepada manusia dan boleh diketahuinya, karena taqdir adalah salah satu dari rukun iman yang harus diketahui dan dipelajari. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menjelaskan rukun-rukun iman kepada Jibril:
 “ Ini adalah Jibril yang datang kepada kamu untuk mengajarkan agama kamu.” (HR. Muslim).

   Beralasan dengan taqdir.

Ilmu Allah ta’ala terhadap apa yang akan terjadi merupakan hal yang gaib, tidak ada yang tahu kecuali Dia, tidak seorangpun di antara hamba yang mengetahuinya, maka tidak ada alasan bagi seseorang untuk berhujjah dengan taqdir, dan tidak boleh meninggalkan amal dengan bersandar kepada taqdir. Taqdir tidak bisa dijadikan oleh seorang hamba sebagai hujjah atas Allah, juga atas sesama makhluk, karena kalau seseorang boleh beralasan dengan taqdir atas kejahatan yang dia lakukan, maka orang yang dzalim tidak bakal akan dihukum, orang musyrik tidak akan dibunuh, tidak akan ada penegakan hukum, dan si dzalim tidak bisa dilarang dari kedzalimannya, dan ini adalah kerusakan nyata dan berbahaya bagi agama dan kehidupan dunia.

Kita katakan kepada yang beralasan dengan taqdir: kamu tidak mempunyai ilmu yang pasti bahwa kamu termasuk ahli surga atau neraka, kalau kamu mempunyai ilmu itu kita tidak akan memerintahkanmu dan tidak melarangmu, tetapi beramallah semoga Allah memberikan taufik-Nya kepadamu dan menjadikanmu termasuk ahli surga. Sebagian sahabat berkata setelah mendengar hadisthadist tentang taqdir: “Sekarang saya lebih bersungguhsungguh (beribadah) dibandingkan dahulu.”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda ketika ditanya tentang beralasan dengan taqdir:
“ Beramallah, karena setiap kalian akan dimudahkan untuk menuju taqdirnya (apa yang telah ditentukan untuknya), barangsiapa yang dicatat sebagai orang yang bahagia dia akan dimudahkan untuk beramal amalan orang yang akan bahagia, dan barang siapa yang dicatat sebagai orang yang celaka dia akan dimudahkan untuk mengerjakan perbuatan orang yang celaka.

Kemudian beliau membaca:
 “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (QS.Al-Lail:5-10).

.    Melakukan sebab (ikhtiyar).

Hal-hal yang menimpa seorang hamba ada dua:
Pertama:
hal yang mungkin diselesaikan (ada jalan keluarnya) maka janganlah dia lemah dalam berusaha untuk mencari penyelesaiannya.

Kedua:
hal yang tidak mungkin dia cari penyelesaiannya (jalan keluarnya), maka dalam hal ini dia tidak perlu gelisah. Karena Allah subhanahu wata’ala mengetahui seluruh musibah sebelum ia terjadi, dan ilmu Allah tentang musibah itu bukan berarti Dialah yang telah menjatuhkan hamba tersebut ke dalam musibah, akan tetapi musibah itu terjadi karena sebab yang menyebabkan terjadinya musibah tersebut. Kalau musibah itu menimpanya karena dia mengabaikan sebab-sebab dan faktorfaktor yang akan membuat dia terlindung dari musibah dan hal itu diperintahkan dalam agama, maka dialah yang bersalah karena tidak berusaha mewujudkan sebab-sebab yang akan melindunginya dari musibah tersebut. Adapun musibah yang dia sendiri tidak sanggup mengatasinya maka dia bisa ditolerir.
Mengusahakan sebab tidak berlawanan dengan taqdir dan tawakal bahkan ia termasuk dalam bagiannya. Akan tetapi jika taqdir telah terjadi, maka dia wajib ridha dan berserah diri, serta kembali kepada perkataan:
 “Allah telah mentaqdirkan, Apa yang Dia kehendaki pasti terjadi.”

Adapun sebelum taqdir itu terjadi, maka tugas seorang hamba adalah berusaha untuk menjalani sebab yang masyru’, dan menolak taqdir dengan taqdir. Para nabi dulu juga mengusahakan sebab dan sarana yang akan melindungi mereka dari musuh-musuh mereka, padahal mereka itu diperkuat dengan mu’jizat dan penjagaan dari Allah. Demikian juga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai pemimpin orangorang yang bertawakal, berusaha untuk mengambil sebab walaupun beliau adalah orang yang paling kuat tawakkalnya.

Allah berfirman:
 “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan perisapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu.” (QS.Al-Anfal: 60).

Dalam ayat lain Allah berfirman :
 “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjuru dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS.Al-Mulk:15).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
 “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah dan pada masing-masing ada kebaikan, berusahalah untuk apa saja yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah dan janganlah kamu lemah. Dan jika kamu ditimpa sesuatu musibah maka jangan kamu berkata: seandainya aku berbuat begini pasti akan begini dan begitu, akan tetapi katakanlah: Allah telah mentaqdirkan, apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi, karena berandai-berandai itu membuka amalan setan.” (HR. Muslim).

Hukum bagi yang menginkari taqdir.

Barangsiapa yang menginkari taqdir, sungguh ia telah menginkari salah satu landasan pokok syari’ah dan ia telah kafir karenanya. Sebagian ulama’ salaf berkata:
“Debatlah Qadariyah dengan ilmu, jika mereka mengingkarinya maka mereka telah kafir, dan jika mereka mengakuinya maka mereka membantah.”

 Hikmah beriman kepada taqdir

Beriman kepada taqdir membuahkan hasil dan dampak yang baik untuk umat dan individu, diantaranya:
1)    Akan membuahkan berbagai macam amal saleh dan sifat yang terpuji, seperti ikhlas, tawakal, rasa takut dan pengharapan kepada Allah, berbaik sangka kepada-Nya, sabar dan tabah, menghilangkan rasa putus asa, ridha dengan Allah, hanya bersyukur kepada Allah, dan senang dengan karunia dan rahmat-Nya, tawadhu’ kepada-Nya, meninggalkan kesombongan dan keangkuhan, mendorong untuk berinfak di jalan kebaikan karena tsiqah (percaya) kepada Allah, berani, qana’ah (menerima yang ada) dan memiliki harga diri, tekad yang tinggi, tegas, kesungguhan dalam segala permasalahan, bersikap menengah dalam suka atau duka, selamat dari hasad dan penolakan, bebasnya akal dari khurafat dan berbagai kebatilan, kelapangan jiwa dan ketenangan hati.
2)    Seorang mukmin dengan taqdir akan berjalan dalam hidupnya di atas jalan kebenaran, nikmat tidak akan membuat dia menjadi sombong, dan musibah tidak akan membuat dia berputus asa serta meyakini bahwa segala kesulitan yang menimpanya adalah merupakan taqdir dan ujian dari Allah, dengan demikian dia akan bersabar dan tabah dan tidak akan gelisah.
3)    Beriman kepada taqdir, melindunginya dari sebab-sebab yang menjerumuskan kepada kesesatan dan suul khatimah (pengakhiran hidup yang jelek), karena taqdir membuat seseorang senantiasa bersungguh-sungguh untuk istiqamah, memperbanyak amal saleh dan menjauhi kemaksiatan dan penyebab kehancuran.
4)    Menumbuhkan pada jiwa orang-orang beriman keteguhan hati dan keyakinan yang mantap disamping mengusahakan sebab dalam menghadapi musibah dan berbagai kesulitan.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
 “Sungguh mengherankan urusan seorang mukmin, sesungguhnya semua urusannya baik dan hal itu tidak dimiliki kecuali oleh mukmin, jika ia mendapatkan nikmat ia bersyukur dan itu baik buat dia, dan jika mendapatkan musibah ia bersabar maka hal itupun baik untuknya. (HR. Muslim).

Sumber : http://s1.islamhouse.com